Tips menghadapi anak tantrum, fase yang hampir pasti dihadapi oleh setiap orang tua. Jeritan, tangisan, melempar barang, bahkan berbaring di lantai adalah ekspresi emosi yang umum pada anak usia dini. Meskipun terlihat seperti perilaku sulit dikendalikan, tantrum sebenarnya adalah bagian dari perkembangan anak untuk belajar mengekspresikan perasaan.
Namun, tidak semua orang tua siap menghadapinya. Di ruang publik seperti mall, restoran, atau bahkan rumah keluarga besar, tantrum sering menjadi ujian kesabaran. Banyak yang memilih membentak atau menyerah dengan memberikan apa yang anak minta, padahal cara ini bisa memperburuk situasi di masa depan.
“Tantrum bukan masalah perilaku semata, tetapi pesan emosional dari anak yang belum mampu berkata-kata dengan cara yang dewasa.”
Mengapa Anak Mengalami Tantrum
Sebelum membahas cara menghadapinya, penting memahami akar masalah dari tantrum. Anak usia dua hingga lima tahun masih dalam tahap perkembangan bahasa dan emosi. Mereka sering kali merasa frustrasi karena tidak bisa mengekspresikan keinginan dengan kata-kata.
Tantrum muncul ketika anak menghadapi batasan yang tidak mereka pahami. Misalnya, tidak boleh memegang benda berbahaya, tidak mendapat mainan baru, atau ketika mereka lelah dan lapar. Pada usia ini, bagian otak yang mengatur logika dan kendali diri (prefrontal cortex) belum berkembang sepenuhnya, sehingga emosi cenderung mengambil alih.
Selain faktor biologis, lingkungan juga berperan besar. Pola asuh yang tidak konsisten atau kurangnya perhatian dapat memicu anak mencari cara ekstrem untuk mendapatkan respons.
“Bagi anak kecil, menangis keras bukan sekadar ekspresi marah, tapi upaya mereka untuk mengatakan ‘tolong mengerti aku’.”
Jenis-Jenis Tantrum yang Perlu Dikenali

Tidak semua tantrum sama. Orang tua yang memahami jenis tantrum anaknya akan lebih mudah menentukan pendekatan yang tepat.
Tantrum Frustrasi
Terjadi ketika anak gagal melakukan sesuatu, seperti mencoba memakai sepatu sendiri atau menyusun balok. Biasanya muncul karena keinginan mandiri yang belum diimbangi kemampuan.
Tantrum Manipulatif
Jenis ini sering muncul ketika anak mencoba mendapatkan keinginannya. Misalnya, menangis di toko agar dibelikan mainan. Ini adalah bentuk komunikasi emosional yang terbentuk karena anak belajar bahwa perilaku tersebut efektif menarik perhatian orang tua.
Tantrum Emosional
Tantrum yang dipicu oleh kelelahan, rasa lapar, atau terlalu banyak stimulasi. Dalam kasus ini, anak sebenarnya tidak sedang marah pada orang tua, melainkan kewalahan oleh kondisi tubuh dan lingkungannya.
“Mengetahui jenis tantrum berarti memahami bahasa emosional anak yang sering kali tidak diucapkan dengan kata-kata.”
Jangan Langsung Bereaksi, Tenangkan Diri Dulu
Ketika anak mulai berteriak atau menangis histeris, naluri pertama orang tua biasanya adalah menenangkan atau menghentikan segera. Namun, bereaksi terlalu cepat justru bisa membuat situasi semakin panas.
Kunci utama dalam menghadapi tantrum adalah tetap tenang. Anak-anak belajar dari cara orang tua bereaksi terhadap stres. Jika orang tua ikut marah, anak akan melihat bahwa kemarahan adalah respons yang wajar terhadap frustrasi.
Ambil napas dalam, beri jarak sejenak, dan gunakan nada suara yang tenang. Biarkan anak tahu bahwa Anda tetap hadir tanpa harus menuruti kemauannya.
“Anak yang sedang marah tidak membutuhkan pembenaran, ia butuh kehadiran orang tua yang tetap tenang ketika dirinya kehilangan kendali.”
Kenali Pemicu dan Cegah Sebelum Terjadi
Pencegahan jauh lebih efektif daripada mengatasi tantrum saat sudah terjadi. Setiap anak memiliki pola dan pemicu yang berbeda. Ada yang tantrum karena lapar, ada yang karena perubahan rutinitas.
Orang tua perlu memperhatikan pola harian anak. Misalnya, jika anak sering tantrum menjelang tidur siang, maka pastikan kebutuhan istirahatnya terpenuhi lebih dulu. Jika tantrum terjadi saat di tempat umum, persiapkan anak dengan memberi tahu rencana kegiatan sebelum berangkat.
Konsistensi dan rutinitas membantu anak merasa aman. Semakin terprediksi lingkungan mereka, semakin kecil kemungkinan mereka kehilangan kendali.
“Tantrum sering kali muncul bukan karena anak keras kepala, tapi karena dunia mereka terasa tidak bisa ditebak.”
Teknik Menenangkan Anak Saat Tantrum
Tidak ada satu cara ajaib yang bisa menghentikan tantrum, tetapi ada beberapa teknik efektif yang bisa diterapkan sesuai situasi.
1. Berikan Ruang Aman
Alihkan anak ke tempat yang lebih tenang. Hindari area ramai agar anak tidak semakin terstimulasi oleh suara dan perhatian orang lain. Duduk di dekatnya tanpa memaksa bicara bisa membantu mereka merasa aman.
2. Validasi Perasaannya
Ucapkan kalimat seperti “Mama tahu kamu marah karena tidak boleh main HP sekarang.” Pengakuan terhadap perasaan anak membuat mereka merasa dimengerti dan lebih cepat menenangkan diri.
3. Hindari Menguliahi Saat Anak Masih Marah
Ketika emosi anak sedang memuncak, penjelasan logis tidak akan masuk. Tunggu sampai anak tenang baru berikan pengertian mengapa sesuatu tidak boleh dilakukan.
4. Gunakan Teknik Distraksi
Alihkan perhatian anak pada hal lain yang positif, seperti mengajaknya menggambar atau bermain boneka. Anak usia dini mudah berpindah fokus, sehingga teknik ini cukup efektif.
“Kadang cara terbaik menghadapi amarah anak bukan dengan nasihat, tetapi dengan diam yang penuh empati.”
Jangan Memberikan Apa yang Anak Minta Saat Tantrum
Salah satu kesalahan umum yang sering dilakukan orang tua adalah menyerah pada tantrum demi mengakhiri suasana tidak nyaman. Memberikan mainan, makanan, atau gadget saat anak tantrum justru mengajarkan bahwa perilaku tersebut efektif untuk mendapatkan keinginan.
Jika ini terus berulang, anak akan menggunakan tantrum sebagai alat negosiasi. Akibatnya, perilaku tersebut akan sulit dikendalikan di masa depan.
Orang tua harus tegas namun tetap lembut. Tunda pemberian keinginan anak sampai ia benar-benar tenang. Dengan begitu, anak belajar bahwa perilaku tenang lebih dihargai dibanding tantrum.
“Ketegasan tanpa kemarahan adalah bentuk kasih sayang yang paling mendidik.”
Komunikasi Setelah Tantrum Mereda
Momen setelah tantrum adalah waktu terbaik untuk belajar bersama anak. Gunakan kesempatan ini untuk berbicara secara lembut dan membantu mereka mengenali emosi yang dirasakan.
Tanyakan, “Tadi kamu sedih karena tidak boleh nonton TV, ya?” Lalu bantu mereka menamai emosi itu: “Itu namanya kecewa.” Dengan cara ini, anak belajar bahwa perasaan marah atau sedih bukan hal buruk, tapi harus diungkapkan dengan cara yang tepat.
Anak yang mampu menamai emosinya lebih mudah mengendalikannya di masa depan.
“Setelah badai emosional berlalu, yang tersisa bukan kekacauan, tapi kesempatan untuk menanamkan pemahaman tentang diri.”
Pentingnya Konsistensi Antara Ayah dan Ibu
Tantrum sering kali diperparah oleh ketidakkonsistenan dalam pengasuhan. Jika ayah melarang sesuatu tapi ibu mengizinkan, anak akan bingung dan mencoba memanipulasi situasi.
Orang tua harus memiliki kesepakatan yang jelas tentang aturan di rumah. Misalnya, jam tidur, waktu bermain gadget, atau batasan perilaku di tempat umum. Ketika anak melihat kedua orang tua sejalan, mereka akan merasa lingkungan lebih stabil dan mudah menyesuaikan diri.
“Konsistensi orang tua bukan hanya soal aturan, tapi juga tentang rasa aman yang dirasakan anak setiap hari.”
Saat Tantrum Terjadi di Tempat Umum
Inilah situasi paling menegangkan bagi banyak orang tua. Anak berteriak di supermarket, menangis di restoran, atau berguling di pusat perbelanjaan sering membuat orang tua panik.
Langkah pertama adalah jangan pedulikan pandangan orang lain. Fokuslah pada anak, bukan pada rasa malu. Anak sedang belajar mengendalikan diri, dan Anda sedang menuntun proses itu.
Jika memungkinkan, bawa anak ke tempat yang lebih tenang. Gunakan suara lembut, hindari menyentuh secara paksa, dan biarkan mereka menenangkan diri terlebih dahulu. Setelah situasi terkendali, baru ajak berbicara perlahan.
“Rasa malu sering kali membuat orang tua lupa bahwa anak yang berteriak bukan tanda gagal mendidik, tapi tanda mereka sedang belajar mengelola emosi.”
Ajarkan Anak Mengenali Emosi Sejak Dini
Salah satu cara terbaik mencegah tantrum adalah dengan melatih kecerdasan emosional anak. Ajarkan mereka mengenali dan menyebutkan perasaan seperti senang, marah, kecewa, atau takut.
Gunakan permainan sederhana, misalnya menggambar ekspresi wajah atau membaca buku cerita tentang emosi. Semakin anak memahami perasaannya, semakin kecil kemungkinan mereka melampiaskannya lewat tantrum.
Anak juga perlu belajar bahwa semua emosi valid, tetapi cara mengekspresikannya harus sesuai. Orang tua bisa menjadi contoh dengan menunjukkan cara mengendalikan emosi dalam kehidupan sehari-hari.
“Anak yang mengenal emosinya akan tumbuh bukan sebagai pribadi yang tak pernah marah, tapi yang tahu kapan dan bagaimana harus marah.”
Peran Lingkungan dan Pola Asuh Positif
Selain faktor keluarga, lingkungan sosial juga berpengaruh terhadap perilaku anak. Guru, pengasuh, dan kerabat harus memahami pendekatan yang sama agar anak tidak bingung dengan aturan yang berbeda.
Pola asuh positif menjadi kunci dalam membentuk kepribadian anak yang stabil secara emosional. Alih-alih fokus pada hukuman, berikan penguatan positif ketika anak berperilaku baik.
Misalnya, berikan pujian sederhana seperti “Kamu hebat sekali bisa sabar menunggu giliran.” Penguatan seperti ini lebih efektif dalam membentuk perilaku dibanding teguran keras.
“Anak yang dibesarkan dengan empati akan belajar menghormati orang lain tanpa harus takut kehilangan kasih sayang.”
Ketika Tantrum Menjadi Terlalu Sering
Jika anak mengalami tantrum lebih dari tiga kali sehari, berlangsung lebih dari lima belas menit, atau sampai menyakiti diri sendiri dan orang lain, maka perlu perhatian khusus.
Dalam kasus seperti ini, konsultasi dengan psikolog anak sangat disarankan. Bisa jadi anak memiliki kebutuhan khusus dalam regulasi emosi yang membutuhkan pendampingan profesional.
Penting untuk diingat bahwa mencari bantuan bukan berarti gagal sebagai orang tua. Justru itu adalah bentuk tanggung jawab untuk memastikan anak tumbuh dengan kondisi emosional yang sehat.
“Meminta bantuan bukan tanda lemah, melainkan bukti bahwa kita benar-benar ingin memahami anak dengan lebih baik.”





